Sunday, January 8, 2012

Redenominasi Menjatuhkan Daya Beli Masyarakat

Wacana dan persiapan redenominasi Rupiah dengan alasan menyederhanakan proses pembayaran dan mengangkat harga diri Rupiah ada kemungkinan justru memunculkan dampak negatif berupa inflasi yang tinggi. Wacana mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1 K tidak bisa meniadakan aspek psikologis masyarakat yang tadinya terbiasa dengan jumlah uang yang besar.

Kalau aspek psikologis tidak bisa diatasi, penjual barang dan jasa akan dengan cepat melipat-lipatkan harganya. Misalnya beras sekilo yang tadinya Rp 10.000, setelah redenominasi menjadi Rp 10 K. Aspek psikologis akan membawa penjual barang dan jasa berpikir menjual beras dengan harga Rp 10 yang baru terasa sangat murah. Keuntungannya juga dirasa terlalu sedikit. Mereka dengan mudah akan cepat mencoba harga baru di Rp 12. Akibatnya bobot inflasi dari kenaikan harga beras ini langsung melonjak sebesar 20% dalam waktu cepat. Hal yang tidak akan terjadi secepat itu dengan nilai Rupiah saat ini karena dari Rp 10.000 ke Rp 12.000 justru akan memunculkan halangan psikologis berat untuk menaikkan harga sebesar itu. Ini sekedar contoh yang perlu diwaspadai dan diantisipasi.

Gejala psikologis seperti itu cenderung terjadi mencontoh hal yang sama pada saat pemerintah mengumumkan rencana menaikkan gaji PNS. Biasanya kenaikan gaji PNS belum diberlakukan tapi harga-harga sudah “menyambut” naik terlebih dulu tanpa alasan lain selain aspek psikologis penjual barang dan jasa.

Potensi inflasi lain berasal dari kemalasan memberikan kembalian uang. Selama ini kembalian uang pecahan kecil diberikan dalam bentuk permen. Setelah redenominasi diberlakukan, semakin banyak kembalian berupa permen. Bahkan permen murah dihargai sangat mahal hanya karena tidak tersedia pecahan Rupiah dengan nilai kecil. Untuk toko-toko kecil, dengan alasan kepraktisan mereka akan membulatkan saja harganya ke atas sehingga inflasi yang tidak perlu justru cepat terjadi. Misalnya harga dengan Rupiah baru sebenarnya hanya Rp 12 tapi dibulatkan ke Rp 15 hanya karena kembalian Rp 3 tidak tersedia. Hal remeh-temeh seperti ini menimbulkan inflasi yang tidak perlu, tapi cepat terjadi.

Penerapan redenominasi Rupiah harus menghitung dengan “cost and benefit analysis“. Benefit yang akan diperoleh yang tangible hanyalah hilangnya 3 angka terakhir dalam setiap transaksi Rupiah. Hanya itu, tidak ada yang lain. Kalau pun ada yang lain mungkin rasa kesetaraan nilai mata uang dengan negara-negara tetangga. Tapi ini sangat semu dan relatif. Apakah memang benar-benar kesetaraan diukur dengan cara seperti ini. Sedangkan cost-nya adalah potensi hiperinflasi dalam waktu cepat yang menurunkan daya beli masyarakat. Potensi hiperinflasi itu berkisar antara 20% - 80% untuk mengambil probabilitas mediannya. Hiperinflasi 20% saja sudah akan menimbulkan penderitaan warga yang luar biasa, apalagi kalau lebih dari itu.

Dalam perhitungan resiko, meskipun peluang atau probabilitasnya kecil, tapi kalau akibatnya besar, resiko seperti ini tidak boleh diabaikan.

Otoritas mungkin menganggap tulisan ini berlebihan, tapi banyak contoh kegagalan yang bisa dipelajari. Kalau ada negara yang berhasil, itu karena mereka punya mekanisme kontrol yang kuat, konsisten dan penegakan hukum yang kredibel. Negara ini tidak mempunyai faktor-faktor yang diperlukan itu. Banyak pakar manajemen di negeri ini tapi implementasinya lemah, terutama dalam pekerjaan “kontrol” untuk mencegah kegagalan dan melakukan recovery.

Akal sehat yang kuat harus dipakai dalam keputusan penerapan redenominasi. Jangan hanya dengan alasan emosional. Apalagi pekerjaan redenominasi ini tidak prioritas sama sekali. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih penting.



sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/12/14/waspada-redenominasi-menjatuhkan-daya-beli-masyarakat/